Saturday, February 25, 2012
Wednesday, February 15, 2012
Susunan Pengurus ALFATA'91
Pembina : KH. Imam Nahrawi, S.Ag
Nyai.Hj. Muthi'ah Chudlori, M.Pd
Ketua : Dr. Djoko Hartono, M.Ag, M.M
Dr. Zakky Fuad, M.Pd.I
Sekretaris : Dr. Nasiruddin, M.Ps
Imron, S.Ag
Bendahara : Heni Hani'ah, S.Ag
Elly Uzlifatil Jannah, S.Ag
Koordinator
Kosma : A. Abdul Rahman, M.Pd.I & Ninis Erawati, S.Ag
B. Mas Nidhomuddin, M.Pd.I & Yetti Faridah, S.Ag
C. Nur Wahid, S.Ag & Sufiyanto, S.Ag
D. Nanang Kholidin, M.Pd.I & M.Syaihuddin, S.Ag
E. Dr. Rubaidi, M.Pd.I & Lailatul Qodriyah, S.Ag
F. M.Sigit Dwilaksono, S.Ag & Lailil Munawaroh, S.Ag
G. Dr. Zakky Fuad, M.Pd.I
Nyai.Hj. Muthi'ah Chudlori, M.Pd
Ketua : Dr. Djoko Hartono, M.Ag, M.M
Dr. Zakky Fuad, M.Pd.I
Sekretaris : Dr. Nasiruddin, M.Ps
Imron, S.Ag
Bendahara : Heni Hani'ah, S.Ag
Elly Uzlifatil Jannah, S.Ag
Koordinator
Kosma : A. Abdul Rahman, M.Pd.I & Ninis Erawati, S.Ag
B. Mas Nidhomuddin, M.Pd.I & Yetti Faridah, S.Ag
C. Nur Wahid, S.Ag & Sufiyanto, S.Ag
D. Nanang Kholidin, M.Pd.I & M.Syaihuddin, S.Ag
E. Dr. Rubaidi, M.Pd.I & Lailatul Qodriyah, S.Ag
F. M.Sigit Dwilaksono, S.Ag & Lailil Munawaroh, S.Ag
G. Dr. Zakky Fuad, M.Pd.I
Pendidikan Nonformal Setara Dengan Formal (Oleh : Dr. Djoko Hartono, M.Ag, M.M)
Persaingan
dalam bisnis jasa tak terkecuali dalam jasa pendidikan memang tak terelakkan.
Fenomena di lapangan ini bisa saja kemudian memunculkan politik dalam dunia pendidikan.
Hal ini bukan tidak beralasan. Dalam minggu-minggu belakangan semua bisa
membaca di harian Jawa Pos/Metropolis tentang dipermasalahkannya eksistensi
lembaga pendidikan nonformal oleh dinas pendidikan kota Surabaya. Ini tentu cukup
dijadikan bukti. Ada beberapa kemungkinan kepentingan yang sangat tipis antara
membela kepentingan pengguna jasa yang dianggap dikecewakan dan kalahnya
persaingan lembaga-lembaga pendidikan formal selevel diploma dalam perikrutan
pengguna jasa. Selanjutnya bersinergi dengan dinas pendidikan setempat untuk
kemudian melemahkan eksistensi lembaga pendidikan nonformal yang lagi diminati
masyarakat. Selain itu dimungkinkan juga kurang/tidak ada distribusi upeti yang
dilakukan lembaga pendidikan nonformal kepada dinas yang bersangkutan. Kalau
itu semua benar tentu ini sangat mengeronikan.
Persoalan
mengenai pengguna jasa yang dianggap dikecewakan dan dibohongi bisa jadi memang
ada. Namun itu terlalu mengada-ada karena selama ini jelas-jelas keberadaan
lembaga pendidikan nonformal itu bukan perguruan tinggi tetapi sebatas lembaga pendidikan
ketrampilan dan pelatihan kerja. Akan tetapi masyarakat (stakeholder) pengguna jasa pendidikan nonformal menjadi benar-benar
terbohongi tatkala pengguna jasa setelah lulus diberi ijasah. Sebab ijasah hanya
boleh diberikan kepada mereka yang menempuh pendidikan formal. Adapun
pendidikan nonformal hanya boleh mengeluarkan sertifikat sebagai bukti tanda
lulus.
Kalau memang sertifikat yang diberikan kepada
lulusannya, mengapa eksistensi lembaga pendidikan nonformal harus dipersoalkan
karena hanya menyebut setara dengan diploma, menyebut kampus dan mahasiswa/i.
Mempersoalkan itu terlalu berlebihan. Mengapa harus disalahkan dan dilarang
kalau seandainya di institusi pendidikan nonformal itu menyebut mahasiswa/i
kepada peserta didiknya. Sebab mereka yang belajar di sana tentu sudah lulus
SMA /SMK. Mereka memangnya harus dipanggil apa, kalau setelah tamat menjadi
siswa/i dari SMA/SMK dan melanjutkan pendidikan lagi walaupun pada lembaga
pendidikan nonformal. Bukannya yang tepat memang mahasiswa/i akan tetapi mahasiswa/i
nonformal atau maha santri bagi yang menjadi santri pondok pesantren mahasiswa (ma’had aly).
Selanjutnya
kalau mereka dalam menyelesaikan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja di
lembaga pendidikan nonformal itu selama satu, dua atau tiga, maka apa salahnya
kalau juga disebut setara dengan diploma satu, dua atau tiga. Akan tetapi mereka
tetap sebagai mahasiswa/i diploma nonformal dan belum setara dengan hasil
pendidikan diploma formal. Hal ini karena mereka belum mengikuti dan lulus
dalam ujian penyetaraan yang sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Terlalu
eksklusif kalau sebutan istilah mahasiswa/i diploma itu hanya boleh diberikan
pada mereka yang mengenyam pendidikan formal saja tatkala peserta didik
melanjutkan pendidikannya setelah SMA/SMK. Justru yang terpenting sekarang
adalah bukti output/outcome-nya.
Walaupun lulusan pendidikan formal akan tetapi kalau tidak mampu menunjukkan
kualifikasi lulusan yang baik dan berkualitas tentu pasar akan tetap mencari
mereka yang berkualitas walaupun dari hasil pendidikan nonformal. Hal ini disebabkan
karena cara berfikir pasar sangat realistis dan pragmatis serta yang dibutuhkan
adalah bukti ketika bekerja kecuali dinas-dinas pemerintahan dalam perikrutannya
akan mencari mereka yang memiliki ijasah.
Urgensi Pendidikan Bagi Seseorang
Manusia
sesungguhnya merupakan makhluk yang
disebut sebagai homosapien. Agar dirinya menjadi lebih baik,
berkualitas, sukses dan lebih bermanfaat dalam menjalankan peran, tugas yang
diembannya, maka seseorang harus menyadari akan perlunya pendidikan. Hal ini
sangat beralasan karena menurut psikologi, pandangan seseorang terhadap dirinya
sangat mempengaruhi pendidikannya. Dengan
pendidikan maka membuat diri seseorang menjadi berada pada posisi yang
terhormat.
Untuk
itu siapa saja yang merasa sebagai manusia maka ia harus sadar untuk
mendidikkan dirinya dengan pendidikan yang ada, baik secara formal, informal
atau pun nonformal. Apalagi hidup di era globalisasi dengan krisis multidemensi
yang sarat akan berbagai persoalan yang komplek seperti saat ini, tentu sangat
dibutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Hal ini karena dengan
pendidikan, seseorang akan menjadi berkembang cara berpikirnya, tertata
perilakunya, teratur emosionalnya, terampil dan terlalatih sehingga ia menjadi
mampu menjalankan peranannya sebagai manusia ketika hidup di dunia ini dan
mampu memanfaatkan dunia hingga meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan
perwujudannya.
Bertitik
tolak dari keadaan ini maka pendidikan menjadi sangat urgen bagi setiap
individu manusia itu sendiri. Jasa
pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming
sesuai citra manusia. Development lebih banyak memperhatikan
perkembangan proses peralihan dari tahap ke tahap berikutnya serta
fungsi-fungsi psikologik yang menyertainya sedangkan becoming menunjuk
pada proses aktualisasi diri yang sedapat mungkin dirancang sesuai dengan
persepsi seseorang tentang citra dirinya.
Pendidikan Formal Menyisahkan
Persoalan dan Kelemahan
Seiring dengan perkembangan zaman saat ini,
pendidikan formal yang ada dalam masyarakat ternyata menyisakan berbagai
persoalan serta kelemahan. Di antara persoalan itu yakni tidak ramah biaya.
(Kak Seto, 2007). Walaupun di era reformasi pendidikan ini pemerintah
mengalokasikan dana sebesar 20% dari dana APBN yang ada untuk pendidikan, akan
tetapi pada kenyataannya masyarakat yang mengikuti pendidikan formal harus
menanggung biaya yang semakin tidak murah. Masyarakat dituntut dan dihadapkan
dengan adanya banyaknya pungutan yang sudah ditentukan instiutsi pendidikan
formal.
Beragam biaya inilah yang mengganjal masyarakat
untuk terus menyekolahkan anaknya. Walaupun menganggap sekolah penting tetapi karena biaya sangat mahal,
orang tua berpikir dua kali untuk
melanjutkan sekolah anaknya. Mereka menganggap semakin tinggi level pendidikan
semakin besar biaya yang harus ditanggung sehingga lebih mendorong anaknya
untuk bekerja atau kawin. Dari hasil survey paling tidak sedikitnya ada 17 pungutan
dana yang dibebankan kepada orang tua siswa. (Ade Irawan, dkk, 2004).
Adapun kelemahan dari pendidikan formal itu di
antaranya di samping mengandung manfaat lewat beban beratnya dalam mendidik
generasi muda, institusi pendidikan formal ini pun banyak menimbulkan kerawanan
yang nyaris membawa umat manusia ke dunia sia-sia, lemah, pasrah, serba bebas
atau paganisme. Selanjutnya dampak negatif pendidikan formal modern di
antaranya berkembangnya sikap eksklusif, kecenderungan meninggalkan budaya ketimuran,
munculnya kepribadian terbelah, salah kaprah tentang ijazah dan ujian, lahirnya
sumber daya manusia mekanik.
Indonesia yang notabene memiliki masyarakat
dan penduduknya terbesar di dunia nampaknya belum boleh berbangga diri dan
masih perlu mereposisi institusi pendidikan formal yang ada. Hal ini karena
lembaga pendidikan ini masih belum mampu eksis sebagai institusi yang
menunjukkan tujuan pendidikan nasional dan cita-cita yang yang kaffah.
Bahkan berdasar laporan Bank Dunia, secara umum kualitas sumber daya manusia
Indonesia belum sesuai harapan nasional bahkan cenderung menurun, apalagi
memenuhi standar internasional. Hal ini terbukti dari informasi yang di dapat
saat ini, masyarakat Indonesia yang ingin mendapat beasiswa belajar ke luar
negeri, tes perikrutannya yang dulu diserahkan panitia/pihak Indonesia sendiri
kini nampaknya sudah tidak lagi, dialihkan dan dilakukan sendiri oleh pihak
negara yang dituju.
Menyimak uraian di atas maka model pendidikan formal
tidak salah kalau dikatakan menyisahkan persoalan dan kelemahan, terkesan
mahal, tidak selamanya menghantarkan output-nya menjadi manusia dewasa
yang saleh, berkualitas, mampu menghadapi problematika kehidupan, terkesan pula
banyak pengangguran yang dihasilkan serta tidak terlalu diakui dunia internasional.
Berangkat dari fenomena seperti dalam penjelasan di atas maka sesungguhnya
diperlukan model pendidikan nonformal sebagai alternatif model pendidikan untuk
dikembangkan. Selanjutnya tidak salah jika eksistensinya menjadi diminati
masyarakat Indonesia.
Pendidikan
Nonformal dan Informal Setara dengan Formal
Pendidikan untuk mengkualitaskan sumber daya manusia
ini menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV
Pasal 13 ayat 1, sesungguhnya bisa dilakukan dengan cara formal, nonformal dan
informal. Dalam bentuk formal seperti
sekolah dan atau madrasah, serta perguruan tinggi. Jenjang pendidikan formal
ini terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Jenis
pendidikan ini mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi,
keagamaan dan khusus. (Pasal 14, 15)
Sedangkan menurut UU RI No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 26 ayat 4, pendidikan dalam
bentuk nonformal seperti lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar,
pusat kegiatan belajar masyarakat, majlis taklim, serta satuan pendidikan yang
sejenis. Dalam bentuk informal seperti dalam Pasal 27 ayat 1 menyangkut kegiatan
pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan
belajar secara mandiri.
Hasil pendidikan nonformal menurut UU RI No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal
26 ayat 6 dan informal sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 ini, sesungguhnya dapat
dihargai setara dengan hasil program formal setelah melalui proses penilaian
penyetaraan dan peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
Berdasarkan landasan yuridis ini, nampaknya perlu
ditinjau ulang jika dalam operasionalitas empirik di lapangan ada pihak yang
mempermasalahkan tentang istilah-istilah seperti dalam pembahasan di atas. Hal
ini karena eksistensi lembaga pendidikan nonformal jelas-jelas memiliki payung
hukum yang syah. Apalagi jika dilihat pada Pasal 26 ayat 1 dinyatakan bahwa
pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Dalam pasal ayat ini secara eksplisit semua bisa
membaca jika pendidikan nonformal itu berfungsi sebagai pengganti dan
seterusnya terhadap keberadaan pendidikan formal. Logikanya kalau pendidikan
tinggi formal ada istilah kampus, mahasiswa, jenjang diploma, strata satu dan
seterusnya mengapa pada pendidikan nonformal tidak boleh memakai istilah itu.
Ini semua kemudian menjadi pertanyaan besar, mengapa ada pihak-pihak yang
mempermasalahkan. Mungkinkah ada kepentingan politik tertentu dalam pendidikan nonformal pada
tataran empiris di lapangan. Bagaimana menurut Anda...
Penulis:
Dr.
Djoko Hartono, M.Ag, MM
Dosen
Etika & Politik Pendidikan serta
Direktur
PPs STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo
Profil
Alfata'91 merupakan nama wadah para alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Angkatan 1991. Alfata'91 berdiri dan dideklarasikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya pada hari minggu legi, 12 Februari 2012 yang dihadiri, 46 mantan mahasiswa Fakultas Tarbiyah angkatan '91 dari berbagai perwakilan kelas (cosma A-G) dan mantan pengurus senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah serta mantan para aktivis organisasi ekstra kampus.
Dengan berbagai keceriaan mereka semua melampiaskan kegembiraan maklum + 17 tahun tidak pernah bertemu, mereka ada yang membawa anak istri/suami, dengan saling bercanda di antara mereka saling menggojlok, mengingatkan masa-masa ketika menjadi mahasiswa dulu. Ada yang saling berbagi cerita sepeda motornya dulu hilang, mencari pacar tidak dapat dapat, bahkan ada yang mendapat gelar S.Ag (Sarjana Ahli Genda'an) ini karena ketika menjadi mahasiswa, senangnya menggaet lain jenis. ha...ha..ha. Tetapi semua itu hanya canda ria yang sesungguhnya tidak terjadi pada mahasiswa Fakultas Tarbiyah.
Setelah berpisah + 17 tahun mereka saling bertanya tentang prestasinya masing-masing. ada yang menjadi Guru, Dosen, Pengusaha, Politisi, Ustd, Kyai, Nyai serta bekerja di instansi lain. Tidak sedikit di antara mereka ada yang telah menjadi pemimpin baik di Organisasi Sosial Keagamaan, Partai Politik, Kementerian Agama, Perguruan Tinggi, Sekolah-sekolah dll.
Dari pertemuan para alumni tersebut maka dipilh ketua alumni serta kepengurusan lainnya. Demikian pula dipilih ketua reuni akbar yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Harapan semua yang hadir semoga Alfata'91 menjadi wadah para alumninya untuk mewujudkan visi, misi serta tujuan yang ada. Untuk itu bagi kawan-kawan silahkan mengajak para alumni yang lain untuk bergabung dalam Alfata'91. Salam untuk semua.
Ketua Alumni
Dengan berbagai keceriaan mereka semua melampiaskan kegembiraan maklum + 17 tahun tidak pernah bertemu, mereka ada yang membawa anak istri/suami, dengan saling bercanda di antara mereka saling menggojlok, mengingatkan masa-masa ketika menjadi mahasiswa dulu. Ada yang saling berbagi cerita sepeda motornya dulu hilang, mencari pacar tidak dapat dapat, bahkan ada yang mendapat gelar S.Ag (Sarjana Ahli Genda'an) ini karena ketika menjadi mahasiswa, senangnya menggaet lain jenis. ha...ha..ha. Tetapi semua itu hanya canda ria yang sesungguhnya tidak terjadi pada mahasiswa Fakultas Tarbiyah.
Setelah berpisah + 17 tahun mereka saling bertanya tentang prestasinya masing-masing. ada yang menjadi Guru, Dosen, Pengusaha, Politisi, Ustd, Kyai, Nyai serta bekerja di instansi lain. Tidak sedikit di antara mereka ada yang telah menjadi pemimpin baik di Organisasi Sosial Keagamaan, Partai Politik, Kementerian Agama, Perguruan Tinggi, Sekolah-sekolah dll.
Dari pertemuan para alumni tersebut maka dipilh ketua alumni serta kepengurusan lainnya. Demikian pula dipilih ketua reuni akbar yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Harapan semua yang hadir semoga Alfata'91 menjadi wadah para alumninya untuk mewujudkan visi, misi serta tujuan yang ada. Untuk itu bagi kawan-kawan silahkan mengajak para alumni yang lain untuk bergabung dalam Alfata'91. Salam untuk semua.
Ketua Alumni
Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M |
Subscribe to:
Posts (Atom)