Saturday, February 25, 2012

Wednesday, February 15, 2012

Reuni Akbar

ALFATA'91 Akan mengadakan reuni Akbar pada bulan Juni/Juli dengan susunan kepengurusan :

Ketua Reuni  : Anas Mudzakkar, M.Pd.I
Wakil            : Nanang Kholidin, M.Pd.I
Sekretaris      : Faizuddin Harliansyah, M.Pd.I
Wakil            : Dr. Rubaidi, M.Pd.I
Bendahara     : Makrumah, M.Pd.I
Wakil            : Masrifah, S.Ag

Susunan Pengurus ALFATA'91

Pembina     : KH. Imam Nahrawi, S.Ag
                    Nyai.Hj. Muthi'ah Chudlori, M.Pd
Ketua         : Dr. Djoko Hartono, M.Ag, M.M
                    Dr. Zakky Fuad, M.Pd.I
Sekretaris   : Dr. Nasiruddin, M.Ps
                    Imron, S.Ag
Bendahara  : Heni Hani'ah, S.Ag
                    Elly Uzlifatil Jannah, S.Ag
Koordinator
Kosma       : A. Abdul Rahman, M.Pd.I & Ninis Erawati, S.Ag
                    B. Mas Nidhomuddin, M.Pd.I & Yetti Faridah, S.Ag
                    C. Nur Wahid, S.Ag & Sufiyanto, S.Ag
                    D. Nanang Kholidin, M.Pd.I & M.Syaihuddin, S.Ag
                    E. Dr. Rubaidi, M.Pd.I & Lailatul Qodriyah, S.Ag
                    F. M.Sigit Dwilaksono, S.Ag & Lailil Munawaroh, S.Ag
                    G. Dr. Zakky Fuad, M.Pd.I

Pendidikan Nonformal Setara Dengan Formal (Oleh : Dr. Djoko Hartono, M.Ag, M.M)


Persaingan dalam bisnis jasa tak terkecuali dalam jasa pendidikan memang tak terelakkan. Fenomena di lapangan ini bisa saja kemudian memunculkan politik dalam dunia pendidikan. Hal ini bukan tidak beralasan. Dalam minggu-minggu belakangan semua bisa membaca di harian Jawa Pos/Metropolis tentang dipermasalahkannya eksistensi lembaga pendidikan nonformal oleh dinas pendidikan kota Surabaya. Ini tentu cukup dijadikan bukti. Ada beberapa kemungkinan kepentingan yang sangat tipis antara membela kepentingan pengguna jasa yang dianggap dikecewakan dan kalahnya persaingan lembaga-lembaga pendidikan formal selevel diploma dalam perikrutan pengguna jasa. Selanjutnya bersinergi dengan dinas pendidikan setempat untuk kemudian melemahkan eksistensi lembaga pendidikan nonformal yang lagi diminati masyarakat. Selain itu dimungkinkan juga kurang/tidak ada distribusi upeti yang dilakukan lembaga pendidikan nonformal kepada dinas yang bersangkutan. Kalau itu semua benar tentu ini sangat mengeronikan.
Persoalan mengenai pengguna jasa yang dianggap dikecewakan dan dibohongi bisa jadi memang ada. Namun itu terlalu mengada-ada karena selama ini jelas-jelas keberadaan lembaga pendidikan nonformal itu bukan perguruan tinggi tetapi sebatas lembaga pendidikan ketrampilan dan pelatihan kerja. Akan tetapi masyarakat (stakeholder) pengguna jasa pendidikan nonformal menjadi benar-benar terbohongi tatkala pengguna jasa setelah lulus diberi ijasah. Sebab ijasah hanya boleh diberikan kepada mereka yang menempuh pendidikan formal. Adapun pendidikan nonformal hanya boleh mengeluarkan sertifikat sebagai bukti tanda lulus.
Kalau  memang sertifikat yang diberikan kepada lulusannya, mengapa eksistensi lembaga pendidikan nonformal harus dipersoalkan karena hanya menyebut setara dengan diploma, menyebut kampus dan mahasiswa/i. Mempersoalkan itu terlalu berlebihan. Mengapa harus disalahkan dan dilarang kalau seandainya di institusi pendidikan nonformal itu menyebut mahasiswa/i kepada peserta didiknya. Sebab mereka yang belajar di sana tentu sudah lulus SMA /SMK. Mereka memangnya harus dipanggil apa, kalau setelah tamat menjadi siswa/i dari SMA/SMK dan melanjutkan pendidikan lagi walaupun pada lembaga pendidikan nonformal. Bukannya yang tepat memang mahasiswa/i akan tetapi mahasiswa/i nonformal atau maha santri bagi yang menjadi santri pondok pesantren mahasiswa (ma’had aly).
Selanjutnya kalau mereka dalam menyelesaikan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja di lembaga pendidikan nonformal itu selama satu, dua atau tiga, maka apa salahnya kalau juga disebut setara dengan diploma satu, dua atau tiga. Akan tetapi mereka tetap sebagai mahasiswa/i diploma nonformal dan belum setara dengan hasil pendidikan diploma formal. Hal ini karena mereka belum mengikuti dan lulus dalam ujian penyetaraan yang sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Terlalu eksklusif kalau sebutan istilah mahasiswa/i diploma itu hanya boleh diberikan pada mereka yang mengenyam pendidikan formal saja tatkala peserta didik melanjutkan pendidikannya setelah SMA/SMK. Justru yang terpenting sekarang adalah bukti output/outcome-nya. Walaupun lulusan pendidikan formal akan tetapi kalau tidak mampu menunjukkan kualifikasi lulusan yang baik dan berkualitas tentu pasar akan tetap mencari mereka yang berkualitas walaupun dari hasil pendidikan nonformal. Hal ini disebabkan karena cara berfikir pasar sangat realistis dan pragmatis serta yang dibutuhkan adalah bukti ketika bekerja kecuali dinas-dinas pemerintahan dalam perikrutannya akan mencari mereka yang memiliki ijasah.
Urgensi Pendidikan Bagi Seseorang
Manusia sesungguhnya merupakan makhluk yang  disebut sebagai homosapien. Agar dirinya menjadi lebih baik, berkualitas, sukses dan lebih bermanfaat dalam menjalankan peran, tugas yang diembannya, maka seseorang harus menyadari akan perlunya pendidikan. Hal ini sangat beralasan karena menurut psikologi, pandangan seseorang terhadap dirinya sangat mempengaruhi pendidikannya. Dengan  pendidikan maka membuat diri seseorang menjadi berada pada posisi yang terhormat.
Untuk itu siapa saja yang merasa sebagai manusia maka ia harus sadar untuk mendidikkan dirinya dengan pendidikan yang ada, baik secara formal, informal atau pun nonformal. Apalagi hidup di era globalisasi dengan krisis multidemensi yang sarat akan berbagai persoalan yang komplek seperti saat ini, tentu sangat dibutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Hal ini karena dengan pendidikan, seseorang akan menjadi berkembang cara berpikirnya, tertata perilakunya, teratur emosionalnya, terampil dan terlalatih sehingga ia menjadi mampu menjalankan peranannya sebagai manusia ketika hidup di dunia ini dan mampu memanfaatkan dunia hingga meraih tujuan kehidupan sekaligus mengupayakan perwujudannya.
Bertitik tolak dari keadaan ini maka pendidikan menjadi sangat urgen bagi setiap individu manusia itu sendiri.  Jasa pendidikan dapat diharapkan sejauh menyangkut development dan becoming sesuai citra manusia. Development lebih banyak memperhatikan perkembangan proses peralihan dari tahap ke tahap berikutnya serta fungsi-fungsi psikologik yang menyertainya sedangkan becoming menunjuk pada proses aktualisasi diri yang sedapat mungkin dirancang sesuai dengan persepsi seseorang tentang citra dirinya.
Pendidikan Formal Menyisahkan Persoalan dan Kelemahan
Seiring dengan perkembangan zaman saat ini, pendidikan formal yang ada dalam masyarakat ternyata menyisakan berbagai persoalan serta kelemahan. Di antara persoalan itu yakni tidak ramah biaya. (Kak Seto, 2007). Walaupun di era reformasi pendidikan ini pemerintah mengalokasikan dana sebesar 20% dari dana APBN yang ada untuk pendidikan, akan tetapi pada kenyataannya masyarakat yang mengikuti pendidikan formal harus menanggung biaya yang semakin tidak murah. Masyarakat dituntut dan dihadapkan dengan adanya banyaknya pungutan yang sudah ditentukan instiutsi pendidikan formal.
Beragam biaya inilah yang mengganjal masyarakat untuk terus menyekolahkan anaknya. Walaupun menganggap sekolah  penting tetapi karena biaya sangat mahal, orang tua berpikir dua kali  untuk melanjutkan sekolah anaknya. Mereka menganggap semakin tinggi level pendidikan semakin besar biaya yang harus ditanggung sehingga lebih mendorong anaknya untuk bekerja atau kawin. Dari hasil survey paling tidak sedikitnya ada 17 pungutan dana yang dibebankan kepada orang tua siswa. (Ade Irawan, dkk, 2004).
Adapun kelemahan dari pendidikan formal itu di antaranya di samping mengandung manfaat lewat beban beratnya dalam mendidik generasi muda, institusi pendidikan formal ini pun banyak menimbulkan kerawanan yang nyaris membawa umat manusia ke dunia sia-sia, lemah, pasrah, serba bebas atau paganisme. Selanjutnya dampak negatif pendidikan formal modern di antaranya berkembangnya sikap eksklusif, kecenderungan meninggalkan budaya ketimuran, munculnya kepribadian terbelah, salah kaprah tentang ijazah dan ujian, lahirnya sumber daya manusia mekanik.
Indonesia yang notabene memiliki masyarakat dan penduduknya terbesar di dunia nampaknya belum boleh berbangga diri dan masih perlu mereposisi institusi pendidikan formal yang ada. Hal ini karena lembaga pendidikan ini masih belum mampu eksis sebagai institusi yang menunjukkan tujuan pendidikan nasional dan cita-cita yang yang kaffah. Bahkan berdasar laporan Bank Dunia, secara umum kualitas sumber daya manusia Indonesia belum sesuai harapan nasional bahkan cenderung menurun, apalagi memenuhi standar internasional. Hal ini terbukti dari informasi yang di dapat saat ini, masyarakat Indonesia yang ingin mendapat beasiswa belajar ke luar negeri, tes perikrutannya yang dulu diserahkan panitia/pihak Indonesia sendiri kini nampaknya sudah tidak lagi, dialihkan dan dilakukan sendiri oleh pihak negara yang dituju.
Menyimak uraian di atas maka model pendidikan formal tidak salah kalau dikatakan menyisahkan persoalan dan kelemahan, terkesan mahal, tidak selamanya menghantarkan output-nya menjadi manusia dewasa yang saleh, berkualitas, mampu menghadapi problematika kehidupan, terkesan pula banyak pengangguran yang dihasilkan serta tidak terlalu diakui dunia internasional. Berangkat dari fenomena seperti dalam penjelasan di atas maka sesungguhnya diperlukan model pendidikan nonformal sebagai alternatif model pendidikan untuk dikembangkan. Selanjutnya tidak salah jika eksistensinya menjadi diminati masyarakat Indonesia.
Pendidikan Nonformal dan Informal Setara dengan Formal
Pendidikan untuk mengkualitaskan sumber daya manusia ini menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 13 ayat 1, sesungguhnya bisa dilakukan dengan cara formal, nonformal dan informal.  Dalam bentuk formal seperti sekolah dan atau madrasah, serta perguruan tinggi. Jenjang pendidikan formal ini terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan ini mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan khusus. (Pasal 14, 15)
Sedangkan menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 26 ayat 4, pendidikan dalam bentuk nonformal seperti lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majlis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Dalam bentuk informal seperti dalam Pasal 27 ayat 1 menyangkut kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.
Hasil pendidikan nonformal menurut UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 26 ayat 6 dan informal sesuai dengan Pasal 27 ayat 2 ini, sesungguhnya dapat dihargai setara dengan hasil program formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan dan peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.
Berdasarkan landasan yuridis ini, nampaknya perlu ditinjau ulang jika dalam operasionalitas empirik di lapangan ada pihak yang mempermasalahkan tentang istilah-istilah seperti dalam pembahasan di atas. Hal ini karena eksistensi lembaga pendidikan nonformal jelas-jelas memiliki payung hukum yang syah. Apalagi jika dilihat pada Pasal 26 ayat 1 dinyatakan bahwa pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Dalam pasal ayat ini secara eksplisit semua bisa membaca jika pendidikan nonformal itu berfungsi sebagai pengganti dan seterusnya terhadap keberadaan pendidikan formal. Logikanya kalau pendidikan tinggi formal ada istilah kampus, mahasiswa, jenjang diploma, strata satu dan seterusnya mengapa pada pendidikan nonformal tidak boleh memakai istilah itu. Ini semua kemudian menjadi pertanyaan besar, mengapa ada pihak-pihak yang mempermasalahkan. Mungkinkah ada kepentingan politik  tertentu dalam pendidikan nonformal pada tataran empiris di lapangan. Bagaimana menurut Anda...
Penulis:
Dr. Djoko Hartono, M.Ag, MM
Dosen Etika & Politik Pendidikan serta
Direktur PPs STAI Al-Khoziny Buduran Sidoarjo

Alumni


Profil

    Alfata'91 merupakan nama wadah para alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya Angkatan 1991. Alfata'91 berdiri dan dideklarasikan di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya pada hari minggu legi, 12 Februari 2012 yang dihadiri, 46 mantan mahasiswa Fakultas Tarbiyah angkatan '91 dari berbagai perwakilan kelas (cosma A-G) dan mantan pengurus senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah serta mantan para aktivis organisasi ekstra kampus.
    Dengan berbagai keceriaan mereka semua melampiaskan kegembiraan maklum + 17 tahun tidak pernah bertemu, mereka ada yang membawa anak istri/suami, dengan saling bercanda di antara mereka saling menggojlok, mengingatkan masa-masa ketika menjadi mahasiswa dulu. Ada yang saling berbagi cerita sepeda motornya dulu hilang, mencari pacar tidak dapat dapat, bahkan ada yang mendapat gelar S.Ag (Sarjana Ahli Genda'an) ini karena ketika menjadi mahasiswa, senangnya menggaet lain jenis. ha...ha..ha. Tetapi semua itu hanya canda ria yang sesungguhnya tidak terjadi pada mahasiswa Fakultas Tarbiyah.
    Setelah berpisah + 17 tahun mereka saling bertanya tentang prestasinya masing-masing. ada yang menjadi Guru, Dosen, Pengusaha, Politisi, Ustd, Kyai, Nyai serta bekerja di instansi lain. Tidak sedikit di antara mereka ada yang telah menjadi pemimpin baik di Organisasi Sosial Keagamaan, Partai Politik, Kementerian Agama, Perguruan Tinggi, Sekolah-sekolah dll.
    Dari pertemuan para alumni tersebut maka dipilh ketua alumni serta kepengurusan lainnya. Demikian pula dipilih ketua reuni akbar yang sebentar lagi akan dilaksanakan. Harapan semua yang hadir semoga Alfata'91 menjadi wadah para alumninya untuk mewujudkan visi, misi serta tujuan yang ada. Untuk itu bagi kawan-kawan silahkan mengajak para alumni yang lain untuk bergabung dalam Alfata'91. Salam untuk semua.

                                                                                                                      Ketua Alumni
Dr. Djoko Hartono, S.Ag, M.Ag, M.M